Senin, 31 Oktober 2011 16:29
JAYAPURA—Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua drh. Constant Karma menegaskan, sunat atau sirkumsisi sebagai upaya pencegahan virus HIV dan AIDS, ternyata mampu pula mengobati penyakit herpes atau gejala melepuh kulit pada penis yang diderita seorang dokter selama 20 tahun terakhir ini. “Dokter ini menyampaikan kepada saya via SMS bahwa setelah mengikuti penjelasan sunat di Jayapura beberapa waktu lalu dia melakukan sunat, ternyata setelah itu dia tak lagi menderita penyakit herpes pada kemaluannya yang dialaminya selama 20 tahun,” ujar Constant Karma yang juga menjabat Sekda Provinsi Papua usai pertemuan bersama Tim Komisi VIII DPR RI dan stakeholder (pemangku kepentingan) membahas masalah sosial dan keagamaan di Papua di Aula Sasana Karya, Kantor Gubernur Papua, Jayapura, Senin (31/10). Namun demikian, Sekda Provinsi Papua tak menjelaskan secara detail identitas dokter yang sembuh dari penyakit herpes tersebut. Tapi SMS dari dokter masih disimpannya. Sebagaimana pengakuan dokter tersebut, katanya, selama 20 tahun menderita penyakit herpes telah melakukan pelbagai pengobatan tapi tak pernah sembuh. Tapi ketika dia sunat karena mendengar penjelasan dari KPA Provinsi Papua bahwa sunat atau sirkumsisi mampu mencegah virus HIV dan AIDS ternyata penyakit herpes hilang .
Menurutnya, selama 3 tahun pihaknya melakukan dialog dan sosialisasi tentang sunat di Jayapura, Merauke, Biak dan lain lain ia belum pernah mendapatkan protes atau bantahan dari masyarakat. (mdc/don/l03)
Bintangpapua.com
Selamat datang di RUMAH SUNAT AL IKHWAH BALI
"Jadikan hidup anda lebih bersih dan sehat"
Rumah Sunat Al Ikhwah Bali (circumcision specialistic in Denpasar Bali dengan hipnoanestesi)
Rumah Sunat Al Ikhwah berdiri pada bulan juli 2006 dan sampai sekarang masih berkhidmad di dalam pelayanan jasa khitan untuk wilayah Bali dan sekitarnya, bahkan pasien yang datang sampai dari makasar, irian jaya, kupang, lombok, jogjakarta, banyuwangi, jember, jakarta, medan dan surabaya. usia pasien yang di layani di RSAI sangat bervariatif, dari umur 0 tahun sampai 90 tahun sering di tangani, tentunya dalam masalah khitan ini tidak ada kata terlambat, umur berapapun bisa dan tidak ada permasalahan. dokter yang bertugas di RSAI adalah dokter yang khusus menangani khitan atau sunat (spesialistik di bidang sunat/khitan), sehingga dari segi pengalaman dan kualitas sudah tidak di ragukan lagi. Yang terbaru adalah kombinasi antara hipnosis sederhana dan anestesi dengan minimal rasa sakit "HIPNOANESTESI", dengan metode bius ini sunat menjadi semakin nyaman dan benar2 bisa tanpa rasa sakit atau minimal sekali rasa sakit (pada anak-anak yang sudah siap sunat secara psikologis). kedepan RSAI akan senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan dan mengembangkan berbagai metode yang lebih canggih, cepat dan tepat untuk khitan atau sunat.
Sabtu, 14 Januari 2012
PBB Kampanyekan Khitan untuk Kurangi Risiko Penularan HIV
ADDIS ABABA- Organisasi AIDS PBB (UNAIDS) dan Rencana Darurat Presiden Amerika bagi Pemberantasan AIDS (PEPFAR) mengumumkan kampanye berjangka lima tahun untuk membujuk kaum lelaki di 14 negara Afrika agar secara sukarela melakukan khitan. Berbagai penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa khitan mengurangi risiko penularan HIV melalui hubungan seks lelaki dan perempuan hingga sekitar 60 persen.
Direktur UNAIDS Michel Sidibe mengatakan, menambahkan khitan pada strategi pencegahan dapat menurunkan kasus penularan secara dramatis.
“Jika ada penurunan 60 persen, dan mengombinasikannya dengan langkah-langkah pencegahan lainnya, kita dapat mulai mengurangi jumlah penularan baru melalui hubungan seksual hingga lebih dari 50 persen.” Ujar Sidibe.
Empat belas negara yang ditarget UNAIDS adalah Afrika Selatan, Botswana, Ethiopia, Kenya, Lesotho, Malawi, Mozambik, Namibia, Rwanda, Swaziland, Uganda, Tanzania, Zambia dan Zimbabwe.
Sidibe mengatakan, pengalamannya bekerja bersama masyarakat Luo di Kenya telah membuatnya yakin bahwa kaum lelaki akan berkhitan secara sukarela begitu mereka memahami dampaknya.
“Sewaktu di Kenya saya mendatangi wilayah Luo, di mana mereka menolak mentah-mentah khitan pada lelaki, karena selama ratusan tahun mereka tidak pernah melakukannya. Sewaktu kami berusaha mengajak para sesepuh dan mengerahkannya, perubahannya menakjubkan. Orang-orang yang semula menolak khitan, sekarang malah memintanya, dan pihak yang berwenang bahkan tidak tahu bagaimana mengelolanya,” paparnya.
Sidibe mengatakan kunci lain bagi kesuksesan kampanye berkelanjutan untuk memberantas AIDS adalah membujuk pemerintah negara-negara Afrika agar mengambil peran utama, bukannya bergantung pada dana dari donatur-donatur seperti PBB dan Amerika Serikat.
“Harapan saya adalah dapat melibatkan pemimpin Afrika dan membuat mereka memahami bahwa kita tidak dapat membiarkan orang-orang yang dirawat seumur hidup bergantung pada sumberdaya dari luar. Penting diingat bahwa tanggungjawab merekalah untuk mencari dana di dalam negeri dan berusaha berinovasi dalam hal pembiayaan di benua ini,” katanya.
Koordinator Global AIDS Amerika, Eric Goosby mengatakan bahwa dalam era anggaran yang ketat sekarang ini, negara-negara donor akan menuntut keterlibatan lokal yang lebih besar.
Goosby, Sidibe dan mantan presiden Botswana, Festus Mogae, termasuk di antara pejabat tinggi yang menghadiri ICASA, Konferensi Internasional mengenai AIDS dan Penularan Penyakit melalui Hubungan Seksual di Afrika.
Pertemuan selama lima hari di Addis Ababa itu menarik sebagian pakar terkemuka dunia, para pejabat dan aktivis, untuk membahas tren dan temuan-temuan ilmiah terbaru dalam perang melawan AIDS. (voa/agg)
VOA (voice of America)
Direktur UNAIDS Michel Sidibe mengatakan, menambahkan khitan pada strategi pencegahan dapat menurunkan kasus penularan secara dramatis.
“Jika ada penurunan 60 persen, dan mengombinasikannya dengan langkah-langkah pencegahan lainnya, kita dapat mulai mengurangi jumlah penularan baru melalui hubungan seksual hingga lebih dari 50 persen.” Ujar Sidibe.
Empat belas negara yang ditarget UNAIDS adalah Afrika Selatan, Botswana, Ethiopia, Kenya, Lesotho, Malawi, Mozambik, Namibia, Rwanda, Swaziland, Uganda, Tanzania, Zambia dan Zimbabwe.
Sidibe mengatakan, pengalamannya bekerja bersama masyarakat Luo di Kenya telah membuatnya yakin bahwa kaum lelaki akan berkhitan secara sukarela begitu mereka memahami dampaknya.
“Sewaktu di Kenya saya mendatangi wilayah Luo, di mana mereka menolak mentah-mentah khitan pada lelaki, karena selama ratusan tahun mereka tidak pernah melakukannya. Sewaktu kami berusaha mengajak para sesepuh dan mengerahkannya, perubahannya menakjubkan. Orang-orang yang semula menolak khitan, sekarang malah memintanya, dan pihak yang berwenang bahkan tidak tahu bagaimana mengelolanya,” paparnya.
Sidibe mengatakan kunci lain bagi kesuksesan kampanye berkelanjutan untuk memberantas AIDS adalah membujuk pemerintah negara-negara Afrika agar mengambil peran utama, bukannya bergantung pada dana dari donatur-donatur seperti PBB dan Amerika Serikat.
“Harapan saya adalah dapat melibatkan pemimpin Afrika dan membuat mereka memahami bahwa kita tidak dapat membiarkan orang-orang yang dirawat seumur hidup bergantung pada sumberdaya dari luar. Penting diingat bahwa tanggungjawab merekalah untuk mencari dana di dalam negeri dan berusaha berinovasi dalam hal pembiayaan di benua ini,” katanya.
Koordinator Global AIDS Amerika, Eric Goosby mengatakan bahwa dalam era anggaran yang ketat sekarang ini, negara-negara donor akan menuntut keterlibatan lokal yang lebih besar.
Goosby, Sidibe dan mantan presiden Botswana, Festus Mogae, termasuk di antara pejabat tinggi yang menghadiri ICASA, Konferensi Internasional mengenai AIDS dan Penularan Penyakit melalui Hubungan Seksual di Afrika.
Pertemuan selama lima hari di Addis Ababa itu menarik sebagian pakar terkemuka dunia, para pejabat dan aktivis, untuk membahas tren dan temuan-temuan ilmiah terbaru dalam perang melawan AIDS. (voa/agg)
VOA (voice of America)
Langganan:
Postingan (Atom)