Saat datang ke tempat sunat atau
khitan akan banyak kita temukan berbagai variasi kondisi psikologi pasien yang
akan di sunat. Baik pasien anak-anak atau dewasa akan memberikan gambaran yang
sangat berbeda-beda. Sebagaimana kita ketahui bersama , untuk umat Islam sunat
sudah merupaka suatu kewajiban, sehingga mau tidak mau seorang muslim laki-laki
wajib sunat. Lain hal dengan masyarakat non muslim, khitan atau sunat ini bukan
merupakan kewajiban, akan tetapi di anggap salah satu tindakan positif, dengan
berbagai manfaat bagi kesehatan yang menjadi pilihannya. Dari berbagai variabel
yang ada , maka akan memberikan gambaran psikologi yang berbeda-beda pula. Pada
kesempatan ini kami dari Rumah Sunat Al Ikhwah Sesetan Denpasar Bali ingin
sedikit memberikan ulasan tentang berbagai kondisi psikologi yang sering kami
hadapi dalam praktek sunat.
Tentunya
kami bisa sedikit bercerita tentang kondisi psikologi ini karena setiap liburan
sekolah Rumah Sunat Al Ikhwah Sesetan Alhamdulillah selalu di berikan
kepercayaan untuk meng khitan banyak pasien terutama anak-anak. Saat liburan
sekolah tiba, jadwal pasien mulai setelah subuh sampai malam penuh. Dari sekian
banyak pasien, kami coba menggambarkan beberapa kondisi dan penanganan seperti
apa yang bisa dilakukan oleh pasien atau keluarga pasien sunat atau khitan.
Saat
datang ke tempat khitan, seorang dokter yang sudah berpengalaman bisa melihat
secara kasat mata dan memperkirakan tingkat kesiapan seorang anak hanya dengan
melihat sorot mata nya. Setelah itu baru
dengan memberikan bebrapa pertanyaan, sapaan, candaan dan beberapa interaksi
antara anak dengan dokter , maka dokter bisa menarik kesimpulan bahwa anak tersebut
siap , tidak siap, setengah siap atau siap tapi ketakutan dengan tindakan sunat
itu sendiri. Hal ini berlaku bagi anak-anak maupun pasien dewasa. Dari kesimpulan
awal yang di dapatkan tersebut dokter akan merumuskan pendekatan seperti apa
yang harus di lakukan pada pasien. Tentunya kondisi satu pasien dengan pasien
yang lain akan berbeda, dan disini pengalaman dan jam terbang sangatlah
menetukan kemampuan dokter untuk “merayu” pasien yang akhirnya secara sukarela
mau di lakukan tidakan sunat.
Seorang
anak memiliki latar belakang yang berbeda-beda saat akan di sunat. Ada anak
sunat karena di paksa oleh orang tuanya dan sebenarnya dia belum siap untuk
sunat, ada anak sunat karena keinginan sendiri karena liat teman sebayanya atau
saudara yang sepantaran sudah sunat akhirnya dia meminta orang tuanya untuk di
sunat, ada yang sunat karena kondisi sakit yang menyebabkan mau tidak mau harus
di sunat. Kondisi dimana anak sudah meminta untuk sunat merupakan kondisi
terbaik, dimana anak benar-benar menyadari permintaannya dan sudah sipa dengan
berbagai kondisi yang akan di hadapi saat proses sunat.
Dari
sekian kondisi yang dipaparkan di atas, peran dokter yang berpengalaman dan
orangtua sangatlah penting untuk memberikan support dan motivasi pada anak. Dokter
harus bisa menempatkan diri di posisi yang sangat nyaman untuk anak yang akan
di khitan, tanpa hal itu maka anak akan merasa berhadapan dengan orang asing
yang menakutkan yang akan menambah beban psikologi pada anak. Perlu di fahami,
seorang anak yg akan di khitan, bahkan pasien dewasa pun akan merasakan
ketegangan saat akan menjalani tindakan sunat, hal ini sangat manusiawi dan
tidak bisa di hindari, oleh karena itu dokter harus berperan sebagai lemari es
yang bisa mendinginkan suasana dan membuat suasana nyaman bagi pasien yang akan
di sunat.